Buku dalam Resolusi Tahun Baru
“Selamat tahun baru!” merupakan kalimat pertama yang berkumandang setiap memasuki tahun baru dalam penanggalan masehi seperti sekarang ini. Kata “Selamat” menurut Kamus Terbaru Bahasa Indonesia (2008) yang terdapat di Ruang Referensi Perpustakaan Umum Kota Jambi memiliki arti terhindar dari bencana; aman sentosa; sejahtera; sehat; pemberian salam yang mendoakan agar sejahtera; bebas dari bahaya, bebas dari bencana, serta terhindar dari malapetaka.
Sejalan dengan teori yang digagas Searle (1969) dengan memasukkan ucapan “Selamat” ke dalam Tindak Tutur Ekspresif, yakni bentuk tuturan untuk menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Sehingga bisa dikatakan energi positif dalam ucapan “Selamat tahun baru” merupakan optimisme yang baru saja terlahir.
Selain ucapan “Selamat tahun baru,” yang juga identik dengan tahun baru ialah Resolusi Tahun Baru. Sebuah tradisi sekuler yang lumrah berlaku di dunia barat.
Poin penting yang patut diserap dalam tradisi tersebut ialah konsep evaluate dan planning. Yakni komitmen merubah diri sendiri untuk lebih baik dari tahun-tahun yang telah berlalu.
Akan halnya ucapan “Selamat” yang memiliki makna tentang doa dan harapan, Resolusi Tahun Baru pun demikian. Sebuah pepatah Arab berbunyi,”Tidak akan pernah kembali hari-hari (waktu) yang telah berlalu.” Artinya tradisi menghargai waktu tidak hanya berlaku di dunia barat. Namun berlaku juga di belahan bumi lain, tak terkecuali di tanah air tercinta.
Lantas bagaimana cara kita merepresentasikan resolusi tersebut?
Membaca dan Ode untuk Waktu
Erasmus pada Abad ke-15 mengungkapkan,“Ketika aku punya sedikit uang, aku membeli buku; dan jika ada sisanya, aku membeli makanan dan pakaian.” Hal demikian mengindikasikan betapa disiplinnya masyarakat Eropa ketika itu (bahkan sampai saat ini) untuk meningkatkan kualitas diri sendiri dengan cara membaca. Sejarah pun sudah membuktikan bangsa Eropa yang dulu terbenam dalam Zaman Kegelapan kini menjadi bangsa yang paling unggul dalam segala bidang.
Bagaimana dengan kita?
Konon, Soekarno pernah mengutuk orang yang enggan berbuat baik agar tidak mengalami kemajuan barang selangkah pun. Membaca merupakan satu dari sekian banyak perbuatan baik yang bisa dilakukan. Maka jika kita tidak membaca, kita termasuk orang yang terkutuk bukan?
Bahkan sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, tentu kita sudah paham betul dengan perintah pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yakni, iqra’ (bacalah!). M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah (2002) mengungkapkan perintah iqra’ mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak.
Akan tetapi, betapa mirisnya ketika melihat terdapat sebuah penelitian yang mengatakan minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah (CCSU, 2016). Walaupun besar kemungkinan penelitian tersebut tidak melihat realitas bahwa rasio pertumbuhan buku dan jumlah penduduk yang jauh menganga selisihnya, apalagi ketidakmerataan akses akan buku juga merupakan akar masalah yang sangat serius bagi perkembangan literasi Indonesia.
Belum lagi tradisi lisan yang dulu dominan dalam masyarakat nusantara.
Singkat kata, potret masalah di atas tidak boleh menjadi satu-satunya pembenaran kita agar tidak membiasakan diri untuk membaca.
Artinya dengan kita memulai kebiasaan membaca pada tahun baru ini, selain sebagai bantahan atas penelitian-penelitian yang menyudutkan alam baca masyarakat Indonesia. Minimal sebuah ejawantah penghargaan kita akan waktu, sekaligus peningkatan kulitas diri dari wacana-wacana baru bisa berjalan sebagaimana resolusi tahun baru yang telah sama-sama kita rapal sebelumnya.
Tantangan 4.0, Membaca Seratus Buku dalam Tahun Baru?
Riset Perpustakaan Nasional pada 2017 yang diutarakan Menko PMK dalam Rakor Perpustakaan Nasional 2018, menyebutkan bahwa frekuensi membaca masyarakat Indonesia hanya 3 sampai 4 kali per minggu dan jumlah buku yang ditamatkan hanya berkisar 5 – 9 buku per tahun. Para pembaca buku tiap tahun tersebut hanya sebanyak 250 ribuan jiwa dari seluruh populasi Indonesia (UNESCO 2012).
Penyebab utama rendahnya frekuensi membaca masyakarat Indonesia sekarang jauh lebih kompleks. Tidak hanya soal berbagai faktor seperti yang disebutkan di atas seperti rasio kecukupan dan ketidakmerataan akses buku. Perkembangan Teknologi secara tidak langsung juga mempunyai andil dalam mengeliminir semangat membaca buku jika tidak dimanfaatkan secara bijaksana.
Bagaimana perkembangan teknologi membunuh semangat membaca buku?
Di zaman Revolusi Industri 4.0 ini, puncak perkembangan teknologi ialah akses internet yang sangat masif, cenderung tanpa batas. Berbagai produk teknologi baik perangkat keras maupun perangkat lunak telah terintegrasi sedemikian rupa mewujud windows, linux, blackberry, ios maupun android yang sangat merebak dan laris bak kacang goreng. Akibatnya kita lebih tergoda oleh “kue” 4.0 ini dengan hampir setiap saat berada dalam kendalinya, seperti main game dan bersosial media. Ketimbang untuk melahap sebuah buku.
Dalam Siaran Pers No.53/HM/Kominfo/02/2018 Tanggal 19 Februari 2018 yang dirilis Kominfo, jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2017 mencapai 143,26 juta jiwa atau 54,68 persen dari total populasi di Indonesia. Sebagian besar merupakan pengguna sosial media aktif sebanyak 130 juta jiwa (We Are Sosial, 2018). Bandingkan dengan para pembaca buku setiap tahun yang hanya sebanyak 250 ribuan jiwa saja!
Berbagai kiat stakeholder untuk meningkatkan minat baca masyarakat sampai saat ini masih terus berjalan. Dari upaya penyebaran langsung akses buku ke seluruh lapisan masyarakat secara fisik, sampai dengan pendekatan perpustakaan terhadap arus 4.0 yang melahirkan berbagai terobosan seperti iPusnas, ePerpus Riau, Perpustakaan Digital Pelembang, ePerpustakaan Sumbar, dan yang baru saja diresmikan yakni iPustaka Aceh.
Artinya titik temu 4.0 ini selain bisa menjadi virus namun bisa juga menjadi stimulan bagi gairah anak bangsa untuk membaca buku. Dan lagi-lagi, pemberian stimulan yang telah diupayakan oleh para stakholder tersebut tidak mungkin efektif tanpa adanya rasa keinginan yang besar dan terbit dari dalam diri kita sendiri untuk sekadar membaca buku.
Jika dalam sebuah wawancara Bill Gates mengungkapkan bahwa dalam setahun pendiri Microsoft tersebut membaca sekitar 50 buku (New York Times, 2016). Bagaimana jika dalam tahun baru ini kita membaca 100 buku? Sehingga buku benar-benar ada dalam kehidupan kita, dalam resolusi tahun baru. Semoga!
Tulisan Asli di Jambi Independent 05 Januari 2019
Penulis: ADEY SUCUK ZAKARIA [Pustakawan Dinas Kearsipan dan Perpustakaanb Kota Jambi]