Menanam Nilai Anti Korupsi dengan Keberliterasian
Beberapa waktu belakangan ini negara kita dilanda “Badai” yang menimbulkan rentetan aksi serta gejolak di tengah masyarakat. Badai tersebut terjadi karena ulah wakil kita di parlemen yang dengan semena-mena menabur benih kegetiran di hati rakyat. Mereka menciderai kepercayaan para pemilihnya dengan cara yang tidak populer. Mereka berkongsi atas dasar kepentingan sendiri.
“Kongsi jahat” tersebut berwujud Usulan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sialnya, usulan yang secara substansi berpotensi mengebiri kewenangan KPK ini telah disahkan.
Padahal, sejak berdirinya (2002) sampai saat ini KPK merupakan salah satu “Lembaga Kesayangan” rakyat Indonesia. KPK bisa dikatakan antitesis DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang malah “dimusuhi” oleh rakyatnya sendiri. Analoginya, jika KPK adalah superhero, maka DPR adalah supervillain.
Bayangkan saja, kasus korupsi justru paling banyak melibatkan para pimpinan dan anggota DPR. Menurut Sabir Laluhu (2019) selama kurun waktu 2009-2019 tak ada satupun komisi—Komisi I s/d Komisi XI—di DPR yang tidak pernah berurusan dengan KPK. Sehingga kecurigaan publik atas Usulan Revisi UU KPK di penghujung jabatan DPR Periode 2014-2019 menjadi suatu hal yang lumrah.
Namun, menyerang DPR secara membabi-buta tanpa mendengar suara dan maksud mereka untuk merevisi UU KPK adalah sesuatu yang keliru juga.
Fahri Hamzah misalnya, dalam sebuah kesempatan secara tegas ia menyebutkan bahwa KPK telah gagal. Menurutnya, memberantas korupsi harus dengan merombak sistemnya bukan dengan cara ketergantungan terhadap KPK. Bahkan ia berseloroh mampu memberantas korupsi di Indonesia selama 5 tahun. Walaupun selama 5 tahun pula ia telah menjabat sebagai pimpinan dewan, toh korupsi tak kunjung padam.
Meski demikian, ada catatan menarik dan perlu digaris bawahi dari pendapat pimpinan DPR tersebut, yaitu tentang merombak sebuah sistem. Memang benar korupsi merupakan salah satu masalah serius yang menggerogoti tubuh negeri kita. Korupsi telah mendarah daging disini. Melampaui kemelekatan korupsi dengan sistem (baca: birokrasi) itu sendiri.
Artinya, tidak hanya “Sistem” yang harus menjadi kambing hitam, “Manusia”nya pun turut punya andil dalam menghancurkan pembangunan yang sudah direncanakan dengan matang.
Lihat saja, betapa perilaku korup semakin merajalela, mulai dari Kepala Sekolah sampai dengan Kepala Daerah pernah terjerat kasus korupsi di negeri khatulistiwa ini. Bahkan perbuatan sesat tersebut terjadi di Lembaga Agama! Kalau sudah begini, apa benar semata-mata hanya sistemnya yang salah?
Korup Sejak dalam Pikiran
Dalam Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer (1975) mengungkapkan, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” apa yang dikatakan Pram 40 tahun lalu sampai saat ini masih sangat relevan.
Namun, adil bukanlah menyoal sama rata – sama rasa belaka. Tapi lebih kepada memiliki dan mengaktualisasikan pemahaman akan sebuah nilai baik-buruk, benar-salah, serta hak-batil, terhadap tingkah laku serta perbuatanya sendiri. Agar memiliki pemahaman yang paripurna tersebut, setiap orang harus terus mengasah hati dan pikirannya sehingga pada akhirnya mampu mengasih dan mengasuh.
Mengasah hati dan pikiran secara tidak langsung dapat diartikan dengan keberliterasian. Yaitu suatu upaya menyelami sebuah konteks melampaui kegiatan baca dan tulis dengan tujuan yang jauh lebih mulia dari sekadar kesejahteraan. Karena faktanya mereka yang telah divonis bersalah atas kasus tindak pidana korupsi jauh lebih sejahtera di banding mayoritas masyarakat Indonesia. Itu pun jika tolok ukur kesejahteraan adalah materi.
Belum lagi, jika perangkaan kesalehan juga dijadikan ukuran kesejahteraan. Mereka yang tampak paham agama ternyata lemah imannya. Masih membekas dalam ingatan kita bagaimana terjadinya kasus korupsi pengadaan Al-Qur’an di Kementerian Agama. Bahkan belum lama ini terjadi lagi kasus korupsi di kementerian yang sama terkait suap jabatan. Padahal tentu saja mereka sejahtera secara materi dan keagamaan.
Artinya, ada yang salah dalam memahami sebuah makna. Terdapat mata rantai yang hilang dari proses mencerna informasi hingga masuk ke dalam pikiran. Mata rantai itulah keberliterasian.
Pikiran yang korup sudah tentu jauh dari keberliterasian. Karena dengan keberliterasian seseorang mampu menimbang segala akibat dari apa yang akan ia perbuat secara lahir dan batin. Sehingga terciptalah standar ketat dalam semua tindakan pada suatu masyarakat literat.
Apa itu masyarakat literat?
Masyarakat literat adalah masyarakat yang tidak lagi berkutat pada meningkatkan minat baca semata. Kegiatan membaca adalah rutinitas, seperti minum teh atau kopi di pagi hari. Masyarakat literat telah sampai pada titik menyelami inti. Masyarakat yang selalu awas, masyarakat yang senantiasa menggunakan nalar dan pengalamannya dalam setiap sendi kehidupan.
Merupa jalan hidup. Masyarakat literat adalah pertapa, filsuf serta sufi di dunia yang sebentar lagi masuk ke era Society 5.0. Pada tahap ini tak ada lagi kesempatan korup meski sejak dalam pikiran.
Keberliterasian di Segala Bidang
Sebagai negara berkembang, Indonesia identik sekali dengan ketertinggalan. Masyarakatnya terkenal malas dan bodoh. Framing yang dibentuk oleh media selalu sama. Seakan-akan Indonesia tak punya kelebihan lain selain kedurjanaan.
Bahkan beberapa waktu lalu, Shamsubahrin Ismail seorang pengusaha transportasi asal Malaysia berujar menyoal kemungkinan masuknya transportasi online ke Malaysia,”Ini (Indonesia) negara miskin, kita negara kaya. Anak muda kita tidak seperti Indonesia. Kalau anak muda Indonesia bagus, dia tak keluar negara untuk cari kerja (menjadi TKI). Gojek hanya untuk orang miskin, seperti di Jakarta,”
Meskipun pada akhirnya ia sudah minta maaf dan mengklarifikasi ucapannya, stigma yang tercipta untuk Indonesia kadung buruk dan minor.
Padahal, sejatinya kualitas orang Indonesia tidak kalah dengan kualitas orang-orang dari negara maju. Sebut saja BJ. Habibie (Presiden ke-3), Bapak Teknologi Indonesia yang berhasil menemukan Crack Propagation Theory dan diakui di dunia penerbangan. Selanjutnya Gus Dur (Presiden ke-4), Bapak Pluralisme Indonesia yang juga diakui sebagai Tokoh Perdamaian Dunia.
Kedua tokoh tersebut bisa dibilang telah mencapai puncak keberliterasian. Karena dengan atau tanpa mereka sadari apa yang mereka lakukan tak hanya berimbas pada diri mereka sendiri, melainkan juga memliki dampak bagi lingkungan sekitar.
Hal tersebut sudah pasti memerlukan proses yang panjang. Dimulai dari mendisplinkan diri dan dengan perbuatan yang sederhana. Tentu saja dengan mengikuti aturan yang berlaku baik tertulis maupun tidak (norma), seperti tidak membuang sampah sembarangan, menghormati orang yang lebih tua, mematuhi rambu lalu lintas, tidak membakar lahan, tidak mengambil dan menerima sesuatu yang bukan haknya, dsb.
Meski sepele, kegiatan-kegiatan tersebut adalah manifestasi keberliterasian. Sewajibnya kita tanamkan sedini mungkin kepada anak-anak, sebagai pemimpin di masa depan. Bahwa keberliterasian itu penting. Namun tidak sebatas pada seremonial peningkatan minat baca menuju sejahtera saja. Keberliterasian adalah jalan hidup. Oleh karenanya, keberliterasian harus tercipta di segala bidang kehidupan. Semoga!
Tulisan Asli di Jambi Independent 13 Oktober 2019
Penulis: ADEY SUCUK ZAKARIA [Pustakawan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Jambi]