Peran Perpustakaan Umum dalam Pendokumentasian Bahasa Daerah (Refleksi 20 Tahun Hari Bahasa Ibu Sedunia)
Tepat tanggal 21 Februari kemarin, 20 tahun sudah kita “rayakan” sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional yang ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Hal tersebut menandakan betapa pentingnya penggunaan bahasa ibu atau bahasa daerah, bahkan di mata dunia internasional. Karena memang lahirnya peristiwa bersejarah bagi eksistensi bahasa-bahasa yang tersebar di seluruh dunia ini, dicapai dengan sejumlah pengorbanan.
Awal mula terjadi di Pakistan, Subrata K. Mitra (2006) dalam bukunya A Political and Economic Dictionary of South Asia menyebutkan bahwa pemantik konflik politik dalam negeri Paksitan disebabkan karena sebuah persinggungan akan bahasa. Kedua kelompok saling memperjuangkan bahasa ibu mereka. Perbedaan penggunaan bahasa tersebut melahirkan sebuah gerakan yang juga dikenal dengan Gerakan Bahasa.
Kini para pengguna kedua bahasa ibu yang saling bertikai tersebut hidup secara harmonis. Pakistan dengan bahasa Urdu dan Bangladesh dengan bahasa Bangla. Seperti yang disebutkan di atas, kita memperingati hari monumental tersebut dengan Hari Bahasa Ibu Sedunia.
Selain kedua bahasa yang sempat memicu konflik di atas, Ethnologue (2018) mencatat saat ini terdapat 7.095 bahasa lain yang dituturkan di seluruh pelosok dunia. Menurut Kemendikbud dalam Data Bahasa di Indonesia (2018), 668 bahasa di antaranya terdapat di Indonesia.
Artinya berdasarkan data di atas, sekitar 10% dari bahasa yang tersebar di seluruh dunia terdapat di Indonesia. Tersebar sepenjuru Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Mulai dari bahasa Aceh di ujung Sumatera sampai bahasa Yuafeta di Papua, menjadi bukti khasanah kemajemukan budaya Indonesia yang harus terus dilestarikan.
Momentum Pendokumentasian Bahasa Daerah
Sebagai Negara-Bangsa, Indonesia boleh berbangga karena memiliki kekayaan yang begitu melimpah baik karena alamnya yang terbentang luas. Maupun karena kebudayaannya yang heterogen. Salah satu aspek keragaman budaya Indonesia tercermin dari eksistensi sebuah bahasa. Bahkan karena cirinya yang khas, sebuah bahasa —khususnya di Indonesia— bisa dikenali hanya dengan menyimak logat, aksen atau dalam kasus tertentu dialek sang penutur.
Dalam perspektif lain, pemahaman dan pengetahuan kita terhadap bahasa daerah lain di Indonesia seperti bahasa Minangkabau, bahasa Sunda atau bahasa Bugis ketika diucapkan merupakan sebuah kekayaan akan budaya nusantara itu sendiri. Michael Polanyi (1958) menyebutnya dengan Tacit Knowledge.
Namun di tengah kegirangan kita akan kekayaan bahasa daerah Indonesia yang diakui dunia. Ternyata terdapat beberapa catatan yang cukup memprihatinkan. Misalnya 19 bahasa daerah di Indonesia terancam punah, 4 bahasa kritis, 2 bahasa mengalami kemunduran, dan 16 bahasa dalam kondisi rentan (Dadang Sunendar, 2018).
Banyak faktor yang menyebabkan bahasa daerah di Indonesia mempunyai “nilai merah”. Adi Budiwiyanto (2015), berpendapat ada lima faktor yang mempengaruhinya. Pertama, faktor ekonomi yang menyebabkan arus urbanisasi. Kedua, faktor dominasi budaya oleh masyarakat mayoritas sehingga menggunakan bahasa mayoritas atau negara. Ketiga, faktor politik yakni kebijakan pendidikan, serta kurangnya representasi politik. Keempat, faktor sejarah, misalnya penjajahan atau sengketa batas wilayah. Kelima, faktor sikap, misalnya bahasa minoritas diasosiasikan dengan kemiskinan dan buta huruf, sementara bahasa mayoritas dikaitkan dengan kemajuan.
Oleh karena itu, untuk menjaga serta melestarikan bahasa-bahasa daerah yang terancam punah, diperlukan adanya upaya revitalisasi bahasa daerah. Salah satunya ialah dengan mendokumentasikannya. Dan saat ini merupakan momentum yang tepat untuk secara bersama-sama mencurahkan kembali sedikit perhatian kita pada bahasa daerah.
Perpustakaan Umum dan Pendokumentasian Bahasa Daerah
Jika menelaah lebih dalam, terdapat sinkronisasi penafsiran yang signifikan antara UU No.4 Tahun 1990 tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, serta UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Persamaan tersebut ialah mengenai pelestarian kekayaan kebudayaan bangsa, dalam hal ini khususnya bahasa daerah.
Bahasa daerah bagaimanapun juga merupakan identitas yang tak kalah penting dengan bahasa Indonesia. Jika bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan, maka bahasa daerah merupakan simbol pluralitas. Para pendiri bangsa merumuskannya dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Sehingga sejatinya suatu daerah merupakan garda terdepan dalam pelestarian bahasa daerahnya sendiri. Selain lembaga kebahasaan di daerah, perpustakaan umum yang berfungsi sebagai wahana informasi juga mempunyai tanggung jawab dalam kelanggengan suatu bahasa daerah.
Peran perpustakaan sebagai pusat dokumentasi dan informasi harus bisa diemban khususnya oleh perpustakaan umum yang bersinggungan langsung dengan masayarakat umum. Perpustakaan umum selayaknya bisa menjadi motor pendokumentasian kekhasan daerah. Pendokumentasian bahasa daerah salah satu contoh yang paling relevan.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 3 Tahun 2017 disebutkan bahwa Dokumentasi adalah pengumpulan, pengolahan, penyusunan, dan pencatatan dokumen, data, gambar, dan suara untuk bahan informasi publik. Dengan kata lain hasil dari pendokumentasian bisa dikategorikan sebagai koleksi perpustakaan sesuai UU No.43 tahun 2007, yakni semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah, dan dilayankan.
Artinya pendokumentasian bahasa daerah tidak hanya sebatas mengalihmediakan sebuah bahasa ke dalam media seperti kamus, ensiklopedia, atau media digital lainnya. Namun bisa juga menjadi sebuah pengetahuan yang bisa dipelajari oleh setiap orang, khususnya dengan keberadaan perpustakaan sebagai penyedia seluruh dokumentasi bahasa daerah tersebut. Sehingga pada akhirnya tolok ukur lestarinya sebuah bahasa dapat ditinjau dari peran perpustakaan umum di tiap-tiap daerah. Semoga.
Tulisan Asli di Jambi Independent 23 Februari 2019
Penulis: ADEY SUCUK ZAKARIA [ Pustakawan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Jambi]