Urgensi Perpustakaan dalam Smart City
Kota Jambi beberapa waktu lalu masuk dalam salah satu nominasi peraih Penghargaan Pembangunan Daerah (PPD) 2018—dulu bernama Anugerah Pangripta Nusantara—yang ditetapkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) / Badan Perencanaan Pembagunan Nasional (Bappenas) pada surat Menteri PPN dan Kepala Bappenas RI Nomor bOA8/D.9/4/2018 tanggal 13 April 2018 tentang Pengumuman Kabupaten dan Kota Nominasi Penilaian Tahap III Penghargaan Daerah, setelah sebelumnya bersaing dengan 16 kota dan 14 kabupaten seluruh Indonesia. Meskipun masih ada satu tahapan lagi sebelum penetapan kabupaten / kota terbaik, keberhasilan Kota Jambi ini patut disyukuri. Pasalnya Kota Jambi sedang bergerak menuju Smart City.
Smart City sendiri merupakan program Pemerintah Pusat—dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Bappenas dan Kantor Staf Kepresidenan—yang berupaya mengkolaborasikan antara lembaga pemerintah dan swasta di Indonesia sehingga bersinergi dalam hal pembangunan daerah. Harapannya, pemerintah kabupaten / kota bisa lebih maksimal dalam memanfaatkan teknologi, baik dalam meningkatkan pelayanan masyarakat maupun mengakselerasi potensi yang ada di masing-masing daerah (Kominfo, 2017).
Masuknya Kota Jambi pada tahap pertama 100 Smart City medio 2017 lalu bukan tanpa alasan. Berbagai parameter diperhitungkan oleh Pemerintah Pusat di antaranya: Kemampuan Keuangan Daerah (KKD), Daftar Kabupaten / Kota Berkinerja Tinggi, Indeks Kota Berkelanjutan, serta Indeks Kota Hijau. Pemerintah juga memasukkan faktor Dimensi Pembangunan Sektor Unggulan, Dimensi Pembangunan Pemerataan dan Kewilayahan, dan Nawa Cita agar program ini merata di seluruh penjuru Indonesia.
Selain itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi kabupaten / kota untuk bisa beralih menjadi Smart City. Dua di antaranya ialah kesiapan pola pikir pemerintah daerah maupun masyarakatnya, serta kecukupan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kesiapan pola pikir pemerintah daerah serta masyarakat perlu digarisbawahi, karena erat kaitannya dengan tingkat literasi. Literasi sendiri kini masuk dalam prioritas pembangunan nasional yang dicanangkan oleh Bappenas. Apalagi sebelumnya hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa literasi Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 61 negara (CCSU, 2016). Begitu pentingnya literasi masyarakat bagi pembangunan membuat Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menjalin nota kesepahaman tentang Kerjasama Pengembangan Perpustakaan Desa.
Oleh karena itu Smart City Masterplan haruslah menyelaraskan pembangunan daerah secara fisik, yakni berhubungan dengan sarana dan prasarana maupun pembangunan daerah dari pendekatan sumber daya manusia. Bagaimana mungkin menerapkan kota yang pintar namun tidak diikuti oleh perkembangan sumber daya masyarakatnya? Salah satu upaya meningkatkan sumber daya manusia sekaligus penerapan langsung konsep Smart City ialah dengan memberdayakan perpustakaan.
Sebagai sebuah lembaga publik yang melayani pemustaka (Baca: Masyarakat), perpustakaan harus memenuhi standar, minimal standar nasional. Sehingga apabila dikaitkan dengan konsep Smart City yang mengedepankan teknologi, pelayanan perpustakaan kepada pemustaka akan berjalan secara maskimal. Singkat kata dalam perwujudan Smart City, perpustakaan seharusnya tidak lagi disibukkan dengan masalah-masalah klasik menyoal jumlah koleksi maupun sarana prasarana lain. Namun lebih kepada membangun sistem informasi atau jejaring sesama perpustakaan dari tingkat ranting (desa / kelurahan) hingga ke pusat. Kita mesti membangun sistem jaringan informasi pada setiap perpustakaan sehingga tercipta pintu untuk mengakses seluruh koleksi khas daerah yang terdapat di perpustakaan daerah masing-masing (M. Syarif Bando, 2017).
Kemudian jika melihat perpustakaan dari sisi keilmuan—ilmu perpustakaan dan informasi, perpustakaan sangat terbuka dengan berbagai pendekatan keilmuan. Bahkan tak jarang penelitan-penelitian besar dilakukan oleh pustakawan atau pada bidang kepustakawanan. Sehingga stereotip masyarakat awam yang melihat perpustakaan hanya melulu soal buku mesti dikaji kembali. Jika berkaca pada UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, maka pada titik inilah perpustakaan berfungsi sebagai wahana penelitian.
Upaya pemerintah pusat dalam menggalakkan literasi dan pemaksimalan perpustakaan semestinya harus diapresiasi. Berbagai kebijakan strategis telah dibuat. Tinggal bagaimana pemerintah daerah mengeksekusinya dengan baik. Sebagai contoh, PNRI telah lama mempunyai aplikasi iPusnas—merupakan aplikasi perpustakaan digital Perpustakaan Nasional Republik Indonesia—yang bisa diterapkan juga untuk perpustakaan di daerah. Selain itu PNRI juga telah mengembangkan Indonesia OneSearch (IOS) yakni repositori dalam skala nasional, sebuah pintu pencarian tunggal untuk semua koleksi publik dari perpustakaan, museum, dan arsip di seluruh Indonesia.
Maka dengan demikian kebersinggungan konsep Smart City dengan pemberdayaan perpustakaan sebagai lembaga publik dan pusat kelimuan yang bisa dimanfaatkan masyarakat luas adalah sebuah keniscayaan. Bagaimana melakukan upgrade dan approach perpustakaan konvensional dengan teknologi informasi dan komunikasi sehingga masyarakat secara umum bisa terlayani dengan baik. Sehingga Smart City dalam hal ini Kota Jambi, bisa diisi oleh masyarakat yang kompeten, cerdas, open minded dan berdaya saing melebihi kecanggihan kotanya sendiri. Last but not least, mari sama-sama berharap kabupaten / kota lain di Provinsi Jambi bisa juga menerapkan Smart City di daerahnya masing-masing. Semoga!
Sudahkah anda pergi ke Perpustakaan hari ini?
Tulisan Asli di Jambione 23 April 2018
Penulis: ADEY SUCUK ZAKARIA [Pustakawan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Jambi]