New Normal dan Senjakala Perpustakaan?
Tidak ada yang pernah menyangka jika tahun 2020 menjadi tahun yang suram. Penyebabnya tak lain karena pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah menyebar hampir di seluruh belahan dunia. Update terkahir berdasarkan laman covid19.go.id serta bersamaan dengan tulisan ini dibuat, jumlah pasien terkonfirmasi positif di Indonesia sebanyak 18.010 jiwa, pasien sembuh sebanyak 4.324 jiwa, dan pasien meninggal dunia sebanyak 1.191 jiwa.
Kebijakan Work From Home (WFH) serta Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun akhirnya diterapkan berbagai daerah dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus yang menurut South China Morning Post pertama kali kasus ini mencuat yaitu pada bulan November 2019 di Wuhan, Cina. Tak ayal, kebijakan WFH dan PSBB tersebut berimbas pada seluruh aktivitas masyarakat lintas sektoral.
Belakangan, ruang serta sarana publik yang berpotensi menimbulkan kerumunan pada akhirnya juga dibatasi. Alih-alih mereduksi penyebaran virus, pembatasan tersebut justru menimbulkan gejolak dan kebingungan baru di akar rumput. Misalnya saja penutupan rumah ibadah, namun tidak dibarengi dengan penutupan pusat keramaian lain seperti adanya penggunaan moda transportasi massal hingga pemberian Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) kepada sektor yang dikecualikan.
Dari sekian banyak pro-kontra pembatasan ruang dan sarana publik. Hanya perpustakaan yang sedari awal menutup pintunya rapat-rapat. Bukan karena acuh terhadap pandemi ini, justru karena dilatarbelakangi dengan kewaspadaan. Perpustakaan sebagai instansi pemerintah sekaligus lembaga pelayanan publik bisa dikatakan mendapatkan dampak yang sangat besar dari peristiwa ini. Seluruh layanan tatap muka (physical) tidak beroperasi. Kendaraan untuk perpustakaan keliling pun hanya bersandar di tempat parkir. Semua demi menanggulangi pagebluk corona.
Namun yang perlu diingat, berdasarkan amanat UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, inti (core) dari keberadaan perpustakaan adalah to collect (menghimpun), to provide (menyediakan) dan to serve (melayani). Jika pendekatan layanan yang diterapkan perpustakaan di tengah pandemi seperti saat ini tidak tepat, maka boleh jadi perpustakaan akan kehilangan kepercayaan masyarakat penggunanya (selanjutnya ditulis: pemustaka).
Lantas sudah sejauh mana kesiapan perpustakaan menghadapi “New Normal” atau kebiasaan baru yang kelak akan kita hadapi bersama-sama?
Digitalisasi dan Mitigasi
Sebagai entitas, perpustakaan akan terus berkembang meskipun secara bersamaan dibenturkan pada hal-hal baru seperti teknologi, komunikasi, filsafat serta keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan. Perpustakaan dan berbagai subjek berbeda tersebut secara padu bisa seiring sejalan.
Jika dulu perpustakaan identik dengan layanannya yang konvensional, dimana proses sirkulasi (pinjam-kembalikan) masih mengandalkan sistem manual. Maka kini perpustakaan telah jauh mengalami perkembangan dengan munculnya perpustakaan digital.
Platform perpustakaan digital berbasis android saat ini semakin marak. Pionirnya adalah iPusnas yaitu Perpustakaan Nasional RI versi digital. Perpustakaan digital memungkinkan pemustaka untuk tidak perlu pergi ke gedung perpustakaan dan berurusan dengan buku secara fisik. Sebab semuanya serba digital. Perpustakaan ada dalam genggaman.
Di Jambi sendiri sudah ada beberapa perpustakaan digital yang bisa ditemukan dalam playstore diantaranya iPustaka Jambi, iJambiKota, iBungo serta iSungaiPenuh.
Namun yang menjadi pertanyaan kemudian (dalam konteks pendemik) adalah, apakah hal tersebut benar-benar dibutuhkan pemustaka? Apakah semua buku (fisik) di perpustakaan sudah terkonversi ke dalam bentuk digital sehingga bisa terserap seluruhnya oleh masyarakat? Bagaimana dengan nasib pemustaka yang tidak memiliki gawai untuk dapat terus membaca? Bagaimana dengan daerah yang tidak terdapat jaringan internet sehingga tidak bisa mengakses perpustakaan digital? Apa yang harus dilakukan dengan ribuan buku (fisik) jika semua beralih ke mode digital?
Artinya, dengan adanya versi digital dari sebuah perpustakaan, tidak serta-merta tugas dan fungsi perpustakaan secara fisik berhenti begitu saja. Perpustakaan malah dituntut untuk terus berinovasi memenuhi kebutuhan pemustaka. Perpustakaan harus out of the box supaya seluruh produknya (koleksi) laris dipasaran (oleh pemustaka).
Maka dari itu, sudah seharusnya perpustakaan kini memikirkan juga mitigasi bencana. Mitigasi bencana berupa menciptakan cetak biru atau grand design “apa yang harus dipersiapkan demi keberlangsungan—menghimpun, menyediakan dan melayani—literasi masyarakat?” di tengah kemungkinan terjadinya bencana alam maupun non-alam dimasa yang akan datang.
Munculnya serangan pandemi ini saja sudah membuat perpustakaan “lumpuh”. Memang, hal tersebut merupakan upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Namun yang menjadi kekhawatiran adalah, jangan sampai ketidakberdayaan masyarakat untuk membaca buku atau pergi ke perpustakaan di tengah pandemi justru menjadi sebuah bencana baru. Bencana literasi.
Menyambut Kenormalan Baru
Beberapa bulan belakangan, layanan perpustakaan hanya bisa diakses dari rumah. Hal tersebut merupakan imbas dari kebijakan WFH, PSBB dan gerakan massal Stay at Home (dirumah saja). Pada tahap ini, jaringan internet menjadi sangat penting. Karena dengan begitu eksistensi perpustakaan berwujud perpustakaan digital dan laman website bisa dikunjungi oleh masyarakat.
Namun tak selamanya kondisi akan terus begini. Sebab seperti negara lain, Indonesia sedang bersiap menyambut kenormalan baru. Tak dapat dipungkiri, hal demikian berpengaruh pada keberlangsungan perpustakaan. Sebelum melakukan re-opening (membuka kembali layanan perpustakaan), ada baiknya perpustakaan mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan prosedur pencegahan Covid-19.
Pertama-tama yang mesti dilakukan adalah merubah mindset perpustakaan mengikuti standar antisipasi penyebaran Covid-19. Jika dulu orientasi perpustakaan adalah kepuasaan pemustaka, maka kini perlu ditambah dengan keselamatan pemustaka. Begitu pun konsep perpustakaan sebagai tempat keramaian atau pusat aktivitas masyarakat, maka kini perpustakaan harus menyediakan tempat personal dan jalur akses yang semuanya disesuaikan dengan protokol kesehatan. Kalau pun harus melibatkan orang banyak seperti mengadakan seminar, bedah buku, dll, perpustakaan bisa memanfaatkan ruang pertemuan virtual yang saat ini banyak digunakan oleh masyarakat.
Selanjutnya, secara teknis perpustakaan juga harus menerapkan Standar Operational Procedure (SOP) baru dengan penyesuaian terhadap protokol kesehatan seperti yang sampai saat ini masih kita lakukan. Misalnya saja menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan / menyediakan hand sanitizer, pemeriksaan suhu tubuh, mengurangi intensitas jumlah pengunjung, serta pembatasan waktu penggunaan fasilitas umum (komputer, tablet, dsb).
Sedangkan untuk petugas yang melakukan kontak langsung dengan pemustaka, upaya yang bisa dilakukan ialah dengan cara menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) sederhana, minimal menggunakan masker dan sarung tangan. Melakukan karantina pada buku atau koleksi yang baru saja dikembalikan oleh pemustaka juga bisa diterapkan pada saat kenormalan baru nanti. Tentu dengan kesepakatan yang telah ditentukan bersama-sama pakar kesehatan.
Dengan demikian, seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa sebagai entitas perpustakaan akan terus berkembang. Meskipun dengan adanya pandemi tak terduga ini. Dalam kenormalan baru yang sama-sama akan kita jelang, perpustakaan tidak tamat. Perpustakaan malah akan tetap kokoh menjaga amanat UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga!
Tulisan Asli di Jambi Independent 6 Juni 2020
Penulis: ADEY SUCUK ZAKARIA [Pustakawan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Jambi]