Tentang Perempuan: Memerdekakan Perempuan dari Tuntutan yang Tidak Terlihat
Sebagai perempuan banyak hal yang dapat diterapkan dalam diri. Saya, sebagai perempuan menolak sistem patriarkat. Menurut saya, menjadi wanita juga harus mandiri, berdikari dan mampu mengembangkan potensi di dalam diri. Bukan hanya pria yang mampu menyetir mobil, bukan hanya pria yang dapat mengangkat galon. Pekerjaan laki-laki juga semestinya bisa dilakukan wanita.
Namun, di luar sana banyak sekali tuntutan. Entah itu gaya bicara atau sekedar bertutur kata, wanita harus lemah lembut, wanita harus feminim, berhijab dituntut harus bersikap kalem. Padahal setiap manusia berhak mengepresikan dirinya.
Demikian juga dengan cara berpakaian. Misalnya saja ada wanita berkerudung tetapi memakai jeans maka masyarakat kerap sekali mengira jika itu tipe-tipe muslimah yang tidak benar. Tidak ber make-up dianggap tidak mampu merawat diri, berbicara sedikit keras disebut tidak elegan. Entah kenapa semua kalangan menuntut agar perempuan bersikap seperti apa yang mereka pikirkan. Pembagian strata seperti ini sudah tertanam sedari zaman kolonial, wanita seakan kehilangan haknya sebagai manusia.
Hal-hal demikian sangat kontradiktif dengan semangat Hak Asasi dan Egaliterianisme. Maka dari itu, dalam memasuki era Generasi Z ini, kita harus mampu membuka mindset kita. Kenapa harus menuntut sesuatu dari perempuan?
Sedangkan bisa kita lihat public figure pria, mereka itu mau berperilaku menjengkelkan dan berbicara jorok demi usaha untuk tampil keren. Tetap saja mereka digemari. Tidak ada tuntutan apa-apa dari masyarakat meski sebetulnya mereka sudah kelewat batas.
Kemudian di Twitter misalnya, banyak saya lihat selebtwit pria yang mengajak hal tidak senonoh ke peremupuan. Terdapat juga kasus selebriti pria yang masuk tahanan dengan kasus yang serupa buruknya, tapi setelah selesai masa tahanannya dia kembali berkarier dengan mudah. Masyarakat sepertinya tidak hold men accountable enough (meminta pertanggung jawaban lebih dari laki-laki terhadap perilaku laki-laki) baik secara moral maupun sosial.
Sementara jika pelaku atau oknum selebritis tersebut perempuan, yang terjadi adalah sebaliknya. Selama ini pun, bukan lagi menjadi rahasia umum, bahwa masyarakat telah merumuskan sendiri standar moral bagi perempuan. Contohnya tuntutan keperawanan. Padahal banyak kasus yang terjadi dimana hilangnya keperawanan seorang perempuan diakibatkan masalah medis atau kesehatan, ada juga yang diakibatkan karena pernah mengalami kecelakaan yang mempengaruhi keperawanan. Pria tidak pernah ditanya, bahkan tidak pernah dipermasalahkan keperawanannya. Bagi saya kemerdekaan 100 persen itu utopia.
Sekarang, ada perempuan yang masih tidak bisa memakai baju sesuai kemauan mereka, dituntut mengikuti norma-norma yang ada, sementara banyak orang juga tidak tahu mengenai norma apa yang dimaksud di sini. Ada juga perempuan yang mau melakukan banyak hal harus minta izin dulu mengikuti kehendak orang tua, suami, atau orang-orang terdekat.
Seolah-olah kemerdekaan seorang perempuan hanya angin lalu. Perempuan merdeka adalah perempuan yang entah dia mengurus rumah tangga atau berkarier di luar sama hebatnya. Perempuan yang mau punya anak atau tidak tentu juga tidak menjadi masalah. Pun dengan menikah. Perempuan merdeka ketika dia bisa dapat ilmu tentang kesehatan reproduksinya, dengan mudah mengakses barang-barang sanitary, dapat hak cuti yang manusiawi setelah melahirkan, dan punya suami yang membantu mengurus rumah tangga. Kemerdekaan tidak bisa diraih perempuan ketika perempuan dan laki-laki belum menjadi decent human beings (manusia selayaknya).
Penulis: NABILA OKTIASIH [Mahasiswa Jururusan Ilmu Perpustakaan UIN Sutha Jambi]